Dari Bagian 1
Dengan gontai Isman berjalan dan mencari meja lainnya. Acara kemudian
dimulai. Karena lingkupnya hanya reuni kelas maka suasana dibuat santai
dengan permainan. Sepertinya aku dikerjai kali ini. Dalam permainan ini
aku sengaja dibuat agar dihukum berpasangan dengan Intan. Ia datang
sendiri. Aku hanya tersenyum saja, sementara itu Intan kelihatan sedikit
kikuk.
"Tenang saja Intan. Aku tidak akan menelanmu," bisikku.
"Ahh.."
"Kita kan sudah lebih dewasa. Aku tahu posisi kita. It's just a game.
Teman-teman hanya iseng mau ngerjain kita. Gimana kalau gantian kita
yang ngerjain mereka". Kali ini suaraku kubuat seserius mungkin. Ia
hanya diam saja.
Kugenggam tangannya dengan semesra mungkin. Teman-teman lain sudah riuh dan bersorak.
"Gitu dong. Kenapa nggak dari dulu. Pas dan cocok sekali.."
Intan yang tadinya tertunduk malu-malu kini mulai lebih berani.
Kelihatannya ia yakin kalau aku tidak akan berbuat macam-macam.
Teman-teman memang agak berlebihan mengerjai kami. Kami disuruh untuk
menggigit batang korek api dan memindahkan karet gelang yang
digantungkan di batang yang kugigit. Dengan perlahan muka kami saling
mendekat dan dengan beberapa gerakan yang agak membuat napas tertahan
akhirnya karet gelang sudah berpindah ke batang korek yang digigit
Intan. Semuanya bersorak dan Intan pun menghembuskan napas dalam-dalam
seolah melepaskan beban di dalam dadanya.
"Thanks To. Kamu sahabat yang baik," katanya sambil menyalamiku. Aku hanya tersenyum dan menggerakkan bahu.
Acara demi acara berlangsung dan akhirnya tiba acara makan. Aku
mengambil makananku dan mencari tempat yang nyaman untuk menikmatinya.
Di sebuah meja agak di sudut, terlihat seorang teman duduk sendirian.
"Siska, kok sendirian saja. Boleh saya duduk di sini?" tanyaku.
"Silakan saja. Untuk kamu semua kursi boleh kamu tempati. Kamulah bintang malam ini," katanya menggodaku.
"Terima kasih, pakaianku jadi sesak nih," kataku membalas godaannya.
Siska salah seorang bunga di kelas kami. Kelihatannya agak sombong,
namun setelah mengenalnya sebenarnya ia seorang yang ramah dan baik. Ada
beberapa teman baik yang sekelas maupun kelas lainnya yang mencoba
mendekatinya, namun mundur teratur ketika mengetahui ia sudah memiliki
calon suami mahasiswa kedokteran. Terakhir aku mendengar ia putus dengan
dokter-nya dan menikah dengan seorang dosen.
Ternyata teman-teman lainnya tidak ada yang mengambil tempat dan bergabung dengan kami. Kini kami hanya berdua saja.
"Kamu mesra sekali dengan Intan tadi. Aku jadi iri," ia berkata sambil menatapku.
"Ah, itu kan kerjaan kalian semuanya. Aku hanya menyesuaikan dengan
irama permainan kalian saja. Dulu aku mau mendekatimu, tapi kalah dengan
sang dokter. Ngomong-ngomong mana suamimu?"
"Sudahlah, itu masa lalu. Hanya indah untuk dikenang. Suamiku lagi tugas belajar ke Jerman. Gimana pacarmu Isman?".
"Hussh.., tanya saja sendiri".
"Kamu belum married juga. Gosipnya patah hati dengan Intan ya?"
"Belum ketemu yang cocok saja".
Akhirnya kami mengobrol dan bercerita tentang diri kami. Ia sudah
mempunyai seorang anak dan sekarang lagi dititipkan ke neneknya. Ia
mendapat kamar di lantai 2 di ujung koridor, sendirian saja karena teman
sekamarnya tidak jadi ikut acara reuni.
Acara berakhir pada jam sepuluh. Beberapa teman belum mau beranjak dan
terlihat masih mengobrol. Sebagian lagi sudah keluar dari ruangan dan
berpindah ke lobby hotel. Aku ditarik untuk ikut bergabung dengan
mereka. Agar tidak mengecewakan maka aku pun berbaur dengan mereka.
Setengah jam kemudian dengan alasan pusing dan lelah, aku berpamitan
untuk ke kamar. Toh besok pagi masih ada acara bersama menikmati
keindahan alam Kaliurang. Isman sudah tidak kelihatan batang hidungnya.
Katanya ia ada keperluan keluarga dan menginap di rumah saudaranya.
Ketika sampai di lantai dua, kulihat Siska sedang membuka pintu
kamarnya. Ia menengok dan melihatku. Ia melambaikan tangan menyuruhku
mendekat.
"To, aku sebenarnya belum mengantuk. Tapi males ngobrol di bawah.
Terlalu ramai dan riuh. Temani aku ngobrol di teras kamar yuk!"
Aku menurut saja, masuk ke kamarnya dan terus menuju ke teras. Kamarnya
masih berantakan. Sampai di teras kami duduk. Siska masuk sebentar dan
keluar lagi dengan membawa dua kaleng soft drink. Kami mengobrol sampai
pada masalah pribadi.
"Bener kamu belum punya pacar?" tanyanya menyelidik.
"Bener. Apa untungnya aku bohong padamu".
"Laki-laki biasanya begitu. Katanya belum punya pacar, ternyata anaknya sudah lima".
"Bener kok. Masih bujangan tulen".
"Apanya yang bujangan. Kupingmu?!!" katanya terkekeh dan mencibirkan bibirnya.
Topik obrolan beralih ke dirinya.
"Berapa lama suamimu tugas belajar?"
"Tiga tahun. Tadinya aku mau diajak, tapi ibuku tidak mengijinkan. Beliau ingin aku masih di sini".
"Jadi tiga tahun ini kedinginan dong?" godaku.
Ia diam dan pandangannya menerawang. Ditariknya napas dalam-dalam. Kami
saling terdiam. Ia memainkan jemarinya. Aku jadi salah tingkah.
Sementara gerimis mulai turun.
"OK deh Sis, aku kembali ke kamarku dulu. Besok pagi masih ada acara lagi," kataku.
Ia masih diam membeku. Namun kemudian ia berdiri dan meraih tanganku.
"Aku mengenal kamu sebagai orang yang tidak pernah serius. Kali ini aku
bicara serius dan aku minta kamu juga menanggapinya serius. Kamu bilang
tadi kalau aku akan kedinginan. Aku tahu kamu cuma bercanda dan
menggodaku. Tetapi setelah kurasakan ternyata malam ini aku memang
sangat kedinginan. Baik tubuhku maupun hatiku. Kamu mau
menghangatkannya?"
"Sis, kamu sadar apa yang kamu katakan?" tanyaku.
"Aku sadar sepenuhnya. Kamu mungkin memandangku sebagai perempuan
murahan, tapi sejujurnya aku belum pernah berselingkuh sampai ketika
kami mengobrol tadi. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku membayangkan
malam ini menjadi sangat panjang dan dingin. Aku tidak ingin berpisah
dengan suamiku, tapi aku.. tidak.. tidak. OK, kalau kamu tidak bersedia
tidak apa-apa dan aku percaya kamu bisa merahasiakan hal ini".
Aku diam sejenak. Siska memang terlihat sangat cantik dan matang.
Kubimbing ia masuk ke kamar, menutup pintu teras dan mengunci pintu
masuk. Ia memegang jariku, menatapku dan berbisik, "Thanks To".
Aku berbaring dengan pikiran menerawang. Sejujurnya aku pun ingin
menikmati tubuhnya yang indah, namun rasanya hal ini terlalu mudah dan
cepat sehingga aku tidak bisa mencernanya. Siska membuka ikatan
rambutnya sehingga rambutnya tergerai sampai ke pungungnya. Gaun malam
yang dikenakannya sangat serasi dengan tubuhnya. Ia melemparkan syal
yang dipakainya. Aku baru sadar kalau gaunnya memiliki potongan V rendah
di dada sehingga sebagian buah dadanya terlihat padat. Ia menghempaskan
tubuhnya di sampingku.
"To, apa pandanganmu terhadap diriku ini. Apakah aku seorang perempuan yang gampangan?"
"Saya tidak akan menilai pribadi seseorang. Kamu sudah dewasa dan kamu bisa menilai dan memutuskan apa yang kamu lakukan".
Siska diam, tapi tangannya mulai mengusap lenganku dengan lembut.
Kupeluk dia dari belakang dan kuciumi leher dan bahunya yang terbuka.
Dipegangnya tanganku dan ditangkupkan ke dadanya. Kuremas buah dadanya
perlahan. Siska merintih perlahan dan membalikkan badannya. Kami masih
terus berpelukan, berciuman dan berguling-guling. Ciuman dan remasanku
semakin lama semakin ganas. Iapun mengerti kalau nafsuku sudah mulai
bangkit. Ia mendesah dan menggesek-gesekkan pipinya pada pipiku.
Bibirnya mengulum daun telingaku dan mendesah..
"Ohh.. Anto. Enam bulan lebih aku kedinginan dan menunggu saat-saat seperti ini".
"Siska, aku akan memuaskanmu malam ini..", balasku sambil menciumi telinganya.
Ia menindih tubuhku dan tetap menciumi bibir, leher dan pipiku sambil
terus merintih dan merapatkan tubuhnya. Tangannya dengan cekatan membuka
kancing bajuku. Kutarik retsluiting gaunnya dan kini bagian dadanya
semakin terbuka lebar. Mulut dan lidahku menyusuri seluruh leher,
telinga dan pangkal buah dadanya yang sedikit tersembul.
Ia melepaskan pelukannya dan membuka gaunnya. Kulitnya yang putih
diterpa lampu kamar yang remang-remang membuat silhouette di tubuhnya.
Aku melepas kemejaku dengan tetap berbaring. Siska membuka kepala ikat
pinggangku kemudian menarik kaitan dan retsluiting celanaku. Kini aku
dan Siska hanya mengenakan pakaian dalam.
Siska berbaring telentang dan tangannya terjulur menyambutku. Kususupkan
tanganku ke balik bra-nya dan kuremas putingnya. Ia tidak sabar lagi
dan tangannya membuka kaitan bra-nya. Kini bagian dadanya sudah polos
terbuka. Kubenamkan mulutku ke dadanya dan beraksi mencium dadanya yang
padat kemudian menggigit belahan dadanya dan menjilati putingnya.
Kejantananku mulai bereaksi ketika tangannya menyusup di celana dalamku.
Pelan tapi pasti kejantananku mulai membesar sehingga terasa mulai
mengganjal. Kunaikkan pantatku untuk mengurangi rasa tekanan
kejantananku pada perutnya. Kemudian tangannya mengarahkan kejantananku
sehingga kepalanya berada sedikit di bawah pusarnya. Tangannya ke bawah,
kemudian meraba, mengusap serta memainkan penisku.
Kini kepalaku bergerak ke leher, dada, menjilat putingnya dengan jilatan
ringan kemudian terus ke bawah sampai di selangkangannya. Kusingkapkan
celana dalamnya dan mulai menjilati dan memainkan tonjolan daging kecil
di bagian depan vaginanya. Bibir vaginanya yang berwarna kemerahan
kuusap dengan bagian dalam telunjukku. Ia membuka pahanya agar
memudahkan aksiku. Aku menggesekkan hidungku ke bibir vaginanya.
"Lakukan To.. Teruskan. Ahkk!!"
Ia menghentakkan kepalanya dengan keras ke atas bantal meluapkan
kekecewaannya. Ia terhentak dan mengejang sesaat ketika clitnya kujilat
dan kujepit dengan kedua bibirku. Kulepas dan kujepit lagi. Ia
merengek-rengek agar aku menghentikan aksiku dan segera melancarkan
serangan terakhir, namun aku sendiri masih ingin menikmati dan melakukan
foreplay. Beberapa saat aku masih dalam posisi itu. Tangan kirinya
memegang kepalaku dan menekankannya ke celah pahanya. Tangan kanannya
meremas-remas payudaranya.
Ke Bagian 3